Apakah Muhammad dan Islam Hanya Untuk Orang Arab?


Sering terdengar berbagai macam tuduhan yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad sekaligus agama yang dibawanya. Di antara tuduhan-tuduhan itu berbunyi bahwa Nabi Muhammad hanya diperuntukkan orang Arab demikian juga agama yang dibawanya. Benarkan demikian?

  1. Tatkala Nabi Muhammad mendeklarasikan dakwahnya kata-kata pertama yang diucapkannya kepda penduduk Makkah adalah: “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah khusus untuk kalian dan untuk semua umat manusia”. Artinya di sini adalah Islam agama yang datang untuk sekalian umat manusia dari sejak pertama kedatangannya. Nabi Muhammad tidak mengetengahkan Islam sebagai agama orang Arab, tapi agama yang bersifat universal untuk segenap manusia. Hal ini diperkuat dengan hadis lain yang mengatakan: “Dan nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh umat manusia”
  2. Selanjutnya ayat-ayat Alquran memberikan keterangan secara jelas bahwa Alquran menyeru kepada manusia ke agama Allah. Sifat universalitas ini sangat jelas, sejelas matahari, terdapat dalam banyak ayat yang turun di Makkah, sebelum hijrah ke Madinah: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” [Qs. 21:107]. Surat pembuka Alquran, Al-Fatihah, juga diawalii dengan redaksi: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” [Qs. 1:1] surat ini turun di Makkah pra hijrah, sebelum kaum Muslimin mempunyai sebuah pemerintahan di Madinah. 
  3. Keterangan di atas menjelaskan kepada kita tentang tidak adanya perubahan perencanaan nabi, akan tetapi di sana ada metode gradualistik dalam pemberlakuan syariah. Hal ini logis dan natural, justru yang tidak logis dan imposibel adalah mengabaikan sesuatu yang biasa dilakukan oleh manusia; karakter bawaan pada diri seseorang, yang tidak mudah dihilangkan. Islam pada awalnya fokus pada pembangunan akidah dan memperkuatnya dalam akal, agar tercipta sebuah pondasi untuk konstruksi syariah yang mampu memberikan perubahan prilaku manusia. Islam telah mengaplikasikan metode ini di banyak hukum, semisal dalam memberlakukan larangan minuman keras dan menghilangkan perbudakan, dst. Periode Makkah adalah untuk memperbaiki akidah agar dari sini mudah membangun peradaban Madinah. 

Note: Serial buku Haqâiqu Islâmiyyatin Fî Muwâjahati Hamalâti al-Tasykîki karya Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq.

[5] Apakah Validitas penyusunan Alquran meragukan?

Banyak sekali kalangan tidak bertanggungjawab melemparkan tuduhan-tuduhan tidak mendasar terkait validitas Alquran. Ada yang beranggapan Alquran sekarang ini hanya hasil dari upaya kodifikasi dari bacaan-bacaan kelompok tertentu saja dan ada tuduhan Alquran tidak sempurna karena pernah terjadi para sahabat penghafal Alquran terbunuh dalam jumlah besar di suatu pertempuran sebelum kodifikasi Alquran ada. Apakah benar periode penyusunan Alquran meragukan validitasnya? Berikut ini fakta-fakta yang harus diketahui:

1. Di sana terdapat sejumlah penulis dari kalangan sahabat yang diketahui dipilih nabi untuk menuliskan apa yang didiktekan nabi kepada mereka ketika wahyu turun. Mereka menuliskan dengan media apa saja yang mudah mereka ketemukan semisal kertas, kayu, potongan kulit hewan, dedaunan maupun tulang. Penulis wahyu –sebagaimana dijelaskan dalam berbagai sumber Islam—berjumlah 20-an, yang termasyhur di antara mereka adalah 4 khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Bersama mereka ada Mu’awiyah, Zubair bin Awwam, Said bin Ash, Umar bin Ash, Ubai bin Ka’b dan Zaid bin Tsabit.

2. Sebagai penjelasan tambahan dalam pembukuan Alquran di sana terdapat metode lain sebagai perbanding pembukuan, yaitu menghapal Alquran di luar kepala. Budaya hapalan ini  berlangsung hingga sekarang. Penghapal Alquran pada periode rasul mencapai hingga ratusan sahabat, sebagian dari mereka mempejari bacaan Alquran dan ada yang menghapal di luar kepala. Rasul memberitahukan bahwa beliau menguji hapalannya ketika Malaikat Jibril As. datang di bulan Ramadan setiap tahunnya. Beliau di tahun terakhir mengunji hapalan sebanyak dua kali. Oleh karenanya bentuk final Alquran telah ada dikalangan para penghapal di masa  akhir kehidupan rasul, sebagaimana para penulis meletakkan setiap ayat pada tempatnya sesuai petunjuk nabi.

3. Setahun paska meninggalnya rasul ada 70 penghapal Alquran yang terbunuh di pertempuran Yamamah melawan Musailamah al-Kadzdzab. Itu sebabnya–atas dorongan dari Umar bin Khattab— Abu Bakar membari tanggung jawab Zaid bin Tsabit –salah satu penulis wahyu—akan pentingnya melakukan kodifikasi dokumen-dokumen Alquran dalam bentuk satu naskah agar mudah dipergunakan. Mekanisme untuk melakukan kodifikasi Alquran menggunakan dasar ketentuan tidak mendukung naskah-naskah Alquran kecuali telah dipersaksikan dua orang berdasarkan ejaan yang diajarkan rasul. Tentu saja upaya itu penyelamatan Alquran dari para sahabat. Seusai menyelesaikan pekerjaan penting ini Zaid menyerahkan naskah Alquran secara sempurna pada Abu Bakar, kemudian sebelum Abu Bakar wafat beliau mempercayakan naskah itu kepada Umar bin Khattab, kemudian sebelum Umar wafat beliau menyerahkan pada anak perempuannya bernama Khafshah, istri nabi.

4. Pada periode kepemimpinan Utsman bin Affan dibentuklah panitia khusus terdiri dari 4 penyunting, salah satunya Zaid bin Tsabit sendiri. Mereka menyalin naskah Alquran menjadi 5 buah, kemudian dikirimkan ke Makkah, Madinah, Bashra (kota terbesar kedua Irak sekarang), Kufah (sebuah kota di Irak sekarang) dan Damaskus (Syiria). Panitia sendiri dalam proyek ini memegang naskah Alquran yang disimpan oleh Saiyyidah Khafshah yang telah menelaah sebagaimana bacaan para penghapal Alquran masa nabi. Mushaf yang tersebar di berbagai tempat di dunia Islam itu dari berbagai kalangan Islam. Tidak ada satupun umat Islam terjadi perbedaan hingga sekarang setelah melewati masa 14 abad. Fakta ini diperkuat oleh sejumlah orientalis, diantaranya Leblois, Muir dan salah seorang orientalis Jerman kontemporer, Rudi Paret, yang mengatakan dalam prolog terjemahan Alquran-nya: “Kami tidak memiliki alasan yang dapat mendorong keyakinan bahwa ayat Alquran apapun di sana, samuanya, tidak bersumber dari Muhammad”. Artinya, tidak ada ruang untuk mengatakan adanya seseorang melakukan berubahan teks Alquran, entah itu dengan cara pengurangan maupun penambahan. 

Tidak benar di sana ada naskah Alquran berbeda dengan naskah yang ada pada periode Utsman bin Affan. Jika di kalangan sahabat terdapat naskah lain niscaya mereka mempelihatkan dan menentang naskah yang jadi pegangan. Peristiwa ini tidak terjadi sepanjang sejarah muslimin. Hingga sebagian sekte yang dianggap sebagai pecahan Islam, semisal Ahmadiyyah kontemporer, saya dapati mereka masih mempertahankan teks Alquran sebagaimana teks yang ada tanpa menambahi atau mengurangi.

5. Adapun pendapat dari Abdullah bin Mas’ud –salah seorang sahabat besar—mengatakan Surat Al-Fatihah dan Al-Mu’awwidzatain bukan bagian dari Alquran tidak benar secara mutlak beliau mengatakan demikian. Ulama-ulama kredibel telah sepakat bahwa Ibnu Mas’ud bebas dari anggapan salah ini. Di antara ulama yang menolak tuduhan dan pemalsuan ini adalah Imam Fakhr al-Din Al-Razi, Qadli Abu Bakr, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hazm, Imam Baqilani, dsb. Tidak disebutkan fakta sejarah ada seorang Muslim mengadopsi pendapat salah yang dianggap pendapat Ibnu Mas’ud.

Note: Serial buku Haqâiqu Islâmiyyatin Fî Muwâjahati Hamalâti al-Tasykîki karya Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq.

[4] Benarkah Alquran Tidak Ada Yang Baru?

Untuk menambahkan beberapa hal dalam memberikan argumentasi atas tuduhan-tuduhan yang lalu, di sini akan diberikan beberapa bukti sebagai berikut:

1. Alquran mencakup beberapa informasi yang tidak diketahui oleh Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Sebagai contoh, Alquran menceritakan secara terperinci kisah Nabi Zakaria dan kelahiran Maryam sekaligus pengasuhnya. Kisah Maryam mendapatkan porsi banyak dan secara spesifik diceritakan satu surat penuh dalam Alquran, yang tidak ada perbandingannya dalam Perjanjian Baru. Jika demikian, dari mana Muhammad mengambil kisah ini?

2. Diterangkan dalam Kitab Keluaran bahwa Anak perempuan Firaun adalah orang yang mengadopsi Musa sedangkan menurut Alquran istri Firaun-lah yang mendopsi Musa. Dalam “Safar al-Kuruj” mengidentifikasi pembuat patung sapi yang kemudian disembah Bani Israel kepada  Harun, justru Alquran mengatakan Musa Samiri, sedangkan Harun mengingkarinya.

3. Jika Alquran mengutip Injil, mengapa Alquran tidak mengadopsi konsep trinitas, sebuah konsep baku paling fundamental dalam teologi nasrani? Mengapa tidak mengadopsi kisah penyaliban, penebusan dosa, dosa warisan dan menuhankan Isa Al-Masih?

4. Alquran telah menjadikan para nabi sebagai suri tauladan yang tinggi, ketika Perjanjian Lama menyatakan sebagian dari mereka melakukan tindakan menjijikkan. Yang demikian ini tidak sesuai dengan kedudukan nabi dalam ilustrasi Islam. (contoh kisah Nabi Luth bersama putrinya dalam Perjanjian Lama).

5. Ibadah dalam Islam yang ada dalam Alquran semisal salat, puasa, zakat, haji, spesifikasi ritus keagamaan dan tata caranya termasuk dari persoalan yang tidak diketemukan dalam agama sebelumnya. Salat lima waktu dikerjakan dengan tatacara khusus pada waktu dan dengan rumusan tertentu, puasa ramadan setiap tahunnya dengan menahan aktifitas makan, minum dan segala bentuk nafsu syahwat mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari, haji dan hal-hal berkaitan dengannya mulai dari tawaf, wukuf di Arafah, sa’i antara safa dan marwa sekaligus lempar jumrah, dst. Adalah beberapa bentuk ibadah dalam Islam yang tata caranya tidak terdapat pada agama apapun. Jika benar semua itu hasil dari adopsi, di mana agama yang mempunyai penjelasan sebagaimana Islam?


Note: Serial buku Haqâiqu Islâmiyyatin Fî Muwâjahati Hamalâti al-Tasykîki karya Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq.

Telaah Sistem Pemerintahan Wilayat Al-Faqih

Manusia adalah makluk sosial yang mempunyai interaksi antar komunitas satu dengan komunitas lain yang begitu beragam. Keberagaman ini dilator belakangi dari cara pandang, kondisi budaya dan berbagai persoalan yang dihadapi masing-masing komunitas itu sendiri. Masing-masing berusaha untuk menciptakan kehidupan yang terbaik dengan mengamati setiap persoalan yang tengah dihadapi sehingga pada akhirnya dapat menciptakan problem solving atas realita yang selama itu menjadi ganjalan.

Telah menjadi hokum alam, manusia selalu mempunyai keinginan melakukan eksperimen dan menawarkan sebuah gagasan demi terciptanya sebuah kelayakan hidup sebagai konstribusi positif bagi dirinya sendiri maupun komunitasnya. Pada dasarnya progresivitas hukum manusia berjalan dan berkembang dipicu dari berbagai problematika kehidupan yang dirasakan manusia itu sendiri. Andaipun tidak demikian (andai tidak dipicu dari sebuah problem) semua itu berjalan hanya sebagai resume (baca; penindaklanjutan) dari problem yang telah ada sebelumnya. [1]

Sebagai makhluk sosial, manusia juga selalu berusaha mempertahankan diri secara kelompok, dari ancaman manusia lain maupun dari ancaman alam. Oleh karenanya dengan cara ini manusia mempunyai kesepakatan setiap individu dalam sebuah kelompok agar tetap selalu dapat survive, seperti yang dikatakan seorang filsuf inggris, John Locke. [2]

Badan atau lembaga berdasarkan kesepakatan di atas dapat disebut sebagai pemerintah. Kemudian tujuan dasar adanya lembaga atau pemerintahan ialah demi terciptanya kehidupan manusia yang adil, makmur dan sejatera di-semua sendi kehidupan masyarakat tanpa adanya kesenjangan status sosial.

URGENSITAS SISTEM PEMERINTAHAN

Dipandang dari sosio-historis system pemerintahan masa lalu lebih banyak menggunakan system monarki dan mempunyai kecenderungan otoritarian. Dalam system monarki pemerintah (baca; raja) berpotensi menciptakan suatu keputusan berdasarkan kemauannya sendiri tanpa mempertimbangkan hukum-hukum yang ada. Hal ini disebabkan raja merupakan satu-satunya otoritas sah, di sebuah pemerintahan, tanpa adanya keseimbangan kekuatan lain yang mampu melakukan monitoring dan controlling terhadap kebijakan-kebijakan yang diambilnya.

Korban atas segala kebijakan inkonstitusional ini tidak lain adalah rakyat, sehingga pada akhirnya menimbulkan pergolakan dan berbagai macam pemberontakan, seperti yang terjadi di perancis dengan revolusinya pada tahun 1687 dan Iran pada tahun 1979.[3] Hal ini terjadi akibat dari begitu komplek-nya ketidakadilan dan tindak kesewenang-wenangan sebuah rezim atas rakyatnya di suatu pemerintahan.
Meskipun demikian telah menjadi sebuah keniscayaan suatu komunitas dengan segala bentuk aktifitasnya membutuhkan sebuah aturan (baca; system) dan konsep berkehidupan yang realistis dan progresif. Kedaulatan dalam kehidupan bernegara mempunyai peran yang sangat penting, karena kedaulatan merupakan symbol kekuasaan dalam sebuah Negara. Kemudian jati diri sebuah bangsa juga dapat dilihat dari ideology dan system pemerintahan yang dipilih oleh bangsa tersebut dan system juga merupakan rel yang akan membawa bangsa tersebut ke suatu titik yang dicita-citakan.

REVOLUSI IRAN

Iran yang sebelumnya bernama Persia mengalami beberapa perubahan ideology poltik dari system pemerintahannya. Salah satu perubahan besar dalam sejarah politik Iran adalah runtuhnya pemerintahan Rezim Pahlevi. Pemerintahan rezim Pahlevi mempunyai kecenderungan despotic dan diskriminatif terhadap rakyatnya. Pemerintah tidak segan-segan melakukan kekejaman dan pembunuhan terhadap kubu oposisi yang mencoba melakukan gerakan yang dianggap dapat merongrong otoritas Negara melalui dinas rahasia SAVAK yang pembentukannya melibatkan Inggris dan Israel. Kondisi rakyat Iran yang sedemikian memperihatinkan membuat sosok Ayatullah Khameini berupaya melakukan gerakan perlawanan terhadap rezim Pahlevi. Puncak gerakan revolusioner yang dipimpin Ayatullah Khameini itu terjadi pada 11 Februari 1979 dan menghancurkan tesis sebagian orang bahwa Negara dan agama harus dipisahkan agar kesejahteraan dapat terealisir. [4]

Semangat revolusi yang diusung Khameini pada dasarnya berangkat dari realita imperialism, monarki dan penindasan yang terjadi diberbagai belahan dunia, lebih-lebih melihat kondisi Iran pada masa itu.[5] Kemudian pada akhirnya revolusi berdarah itu dapat mengubah sistem pemerintahan Iran yang sebelumnya berbentuk monarki menjadi Republik Islam Iran dan wilâyat al-faqîh sebagai ideology pemerintahannya.

Pertarungan ideologis tampak begitu jelas. Sebagai pimpinan tertinggi, Khameini berusaha melakukan counter atas berbagai opini destruktif yang dibangun kaum Imperialis tentang relevansi beberapa hukum Islam, seperti sanksi cambuk bagi menenggak minuman keras dan ekskusi mati (baca; rajam) bagi pelaku zina. Sebagai jawaban tuduhan-tuduhan itu, ia memberikan komparasi produk hokum Barat dan hokum Islam secara realistis dan interpretative, agar diketahui mana yang lebih layak untuk diadopsi antara kedua produk hokum tersebut. Hal ini terekam secara jelas dalam karyanya Al-Hukûmah al-Islâmiyyah.[6]

Ia mengingatkan bahwa pada saat Imperium Romawi dan Persia mencapai puncak peradabannya dengan menggunakan cara keji, diktatorian, dikriminasi rasial terhadap masyarakat bawah, justru Allah –melalui nabi—mematahkan semuanya, dengan adanya rekontruksi mekanisme hokum yang ada menjadi hokum Islam, sehingga semua elemen masyarakat dapat terlindungi. [7]

KONSEP WILAYAT AL FAQIH

Permasalahan kekuasaan (Imâmah) menurut Ahli Sunah adalah termasuk fikih [8] sedangkan semua sekte dalam syiah menuai kata sepakat bahwa kekuasaan (wilâyat) merupakan bagian dari ranah teologi. Yang dikehendaki kekuasaan –perspektif Syi’ah—adalah terbentuknya kepemimpinan dan pemerintahan sipil, sebagaimana fakta sejarah yang telah diteladankan rasulullah, sebagai inspirator pemerintahan pereode setelahnya. Abad 7 H. setelah hilangnya Imam dua belas, komunitas Syi’ah mengalami dilema dalam penantian sosok Imam Mahdi. Mereka memerlukan sebuah problem solving yang mampu mengentaskan mereka dari kondisi degradasi politik dan social, yang terjadi pada saat itu, sehingga timbullah ide perlu adanya perombakan system pemerintahan secara universal. Menurut mereka, semua persoalan akan teratasi jika diserahkan pada seseorang yang mempunyai kredibilitas dibidang hokum Islam (baca; faqih). Dari Al-Syikh Ahmad Bin Muhammad Mahdi Al-Naraqi muncullah konsep wilâyat al-faqîh, yaitu; keniscayaan pemerintahan dari seorang faqîh, kemudian 10 tahun setelah terjadinya revolusi Iran, Khameini menerapkan gagasan wilâyat al-faqîh secara absolute di pemerintahan Islam Iran. [9]

Khameini mengatakan bahwa pemerintahan Islam bukanlah pemerintahan monarki sebagaimana dipahami kebanyakan orang. Dalam sistem monarki segala bentuk persoalan sekaligus keputusan diserahkan sepenuhnya kepada kepala pemerintahan, sebagai satu-satunya otoritas Negara yang sah, tanpa memperhatikan kondisi arus bawah (rakyat). Sedangkan dalam pemerintahan Islam tidak demikian, karena segala bentuk persoalan dan keputusan akan selalu berorientasi pada kondisi rakyatnya. Orang-orang yang terpilih untuk menduduki sebuah institusi pemerintahan dalam Negara Islam (al-qâimîn bi al-amr) juga tidak sama dengan orang-orang yang menududuki lembaga parlemen atau semisal Dewan Perwakilan Rakyat (al-majâlis al-syu’biyyah). Menurutnya, perbedaannya keduanya adalah adanya beberapa syarat dan criteria yang harus dipenuhi oleh seorang wakil rakyat, pada pemerintahan Islam, sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah,[10] sehingga layak tidaknya kapasitas seseorang akan selalu dibenturkan dengan literature agama (al-Qur’an maupun al-Sunnah).

Dalam wilâyat al-faqîh ada empat prinsip yang harus ditegakkan. Pertama: Allah swt. yaitu pemerintah mutlak semua manusia dan alam semesta tanpa terkecuali. Kedua: Nabi sebagai pengganti Tuhan dan pelaksana kepemimpinan manusia (qiyâdah basyariyyah) untuk menegakkan semua konsep hokum yang telah direkomendsikan kepadanya. Ketiga: garis kepemimpinan (imâmah) menunjukkan garis kelanjutan dari pada Nabi dalam memimpin umat. Menurut paham Syi’ah Itsnâ’ Asy’ariyyah adanya imam yang ma’shum atau terjaga dari kesalahan dan perbuatan dosa serta kredibilitas agamanya tidak diragukan lagi (faqîh) mempunyai tugas melanjutkan kepemimpinan Ilâhiyyah. Keempat: Saat terjadi keghaiban besar [11] kepemimpinan nubuwah dilanjutkan oleh para faqîh. Artinya, para faqîh mempunyai tanggungjawab kepemimpinan (wilâyah) atas umat manusia. [12]

Dari sini telah jelas bahwa penguasa tertinggi dalam wilâyat al-faqîh adalah Allah swt. sebagaimana yang dijelaskan di atas, pada poin pertama. Meskipun demikian dalam pemerintahan wilâyat al-faqîh –menurut Khameini—juga mempunyai majlis perencanaan yang berfungsi sebagai majlîs al-tasyrî’iyyah atau biasa disebut legislative. [13]

Selain majlîs al-tasyrî’iyyah atau legislative dibentuk pula majlîs al-qadlâiyyah yang berfungsi sebagai yudikatif dan majlis al-tanfîdziyyah yang berfungsi sebagai eksekutif. [14] Jadi system pemerintahan wilâyat al-faqîh mempunyai tiga lembaga Negara seperti halnya lembaga Negara lain yang menganut system pemerintahan trias politika, yaitu legislative, yudikatif dan ekskutif. Demikian generalogi tentang konsep wilâyat al-faqîh yang digagas secara metodik oleh Ayatullah Ruhallah Khameini dan Republik Islam Iran sebagai representasinya.

Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan dijelaskan masing-masing lembaga yang terdiri dari Pimpinan Tertinggai, Parlemen, Ekskutif, Yudikatif dan Dewan-Dewan tertinggi dalam Pemerintahan Wilâyat al-faqîh:

a. Pimpinan Tertinggi.
Sebagai Pimpinan Tertinggi, Imam merupakan institusi yang sangat signifikan. Ia harus dari kader terbaik diantaranya sekaligus faqih, artinya; mempunyai kapabilitas pengetahuan perundang-undangan Islam (baca; fikih) serta kredibiltas dalam mengaplikasikan sebuah hokum tidak dapat diragukan lagi (baca; adil). Disamping kapabel dan kredibel, seorang Imam juga harus mempunyai akidah lurus, berkepribadian baik dan terjaga dari melakukan dosa. [15]

b. Legislatif
Lembaga ini (Parlemen) dibangun dari nilai filosofis al-Qur’an: “Wa Amruhum Syûra bainahum…” yang artinya: “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka…”. Orang-orang yang duduk di lembaga ini sebagai wakil rakyat yang memberikan gagasan aspiratif dan berasal dari latarbelakang agama yang berbeda, termasuk agama minoritas.
Meskipun sebagai Negara Tuhan (Daulah Ilâhiyyah) system wilâyat al-faqîh juga memberikan ruang mengutarakan pendapat bagi setiap perwakilan.

c. Eksekutif
Eksekutif institusi yang mempunyai tanggungjawab terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dipimpin oleh seorang Presiden. Disamping itu Presiden juga sebagai pemegang kekuasaan tertinggi setelah Imam atau Wilâyat al-faqîh. Meskipun kedudukan presiden mempunyai kekuasaan tertinggi namun kebijakan yang diambil dapat juga ditolak oleh Pimpinan Tertinggi Iran, yaitu Faqih atau Wilâyat al-faqîh. [16] Proses pemilihan Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat. Sehingga dalam proses ini rakyat mempunyai peran secara langsung melalui pemilu yang diselenggarakan pemerintah.

d. Yudikatif
Yudikatif dalam system pemerintahan wilâyat al-faqîh mempunyai peran signifikan. Badan ini mempunyai tanggungjawab terhadap hak-hak rakyat baik individu maupun social. Peran mengadili dan memberikan sebuah keputusan sesuai konstitusi menjadi wewenang lembaga ini. Dalam system wilâyat al-faqîh, yudikatif berdiri secara independen sehingga wewenang hukumnya tidak dapat diintervensi pihak legislative maupun eksekutif. [17]

e. Dewan dalam Wilâyat al-Faqîh
Selain tiga lembaga di atas, dalam konsep wilâyat al-faqîh mempunyai Dewan-Dewan yang bertugas mewujudkan cita-cita revolusi Islam Iran.

Dewan tersebut terdiri dari:

1) Dewan Tinggi Propensi.
Dewan ini mempunyai fungsi melakukan monitoring kepada dewan-dewan yang ada di desa, distrik, kota, kota besar dan propinsi yang berperan menangani persoalan social, ekonomi, pengembangan, kesehatan, kebudayaan, pendidikan serta program-program kesejahteraan.
Anggota dewan yang berada di desa, distrik, kota, kota besar dan propinsi dipilih rakyat secara langsung dan anggota dewan harus dari daerah pemilihan.

2) Dewan Tertinggi Keamanan Negara.
Dewan Tertinggi Keamanan berfungsi pemeliharaan Revolusi Islam, keutuhan wilayah, mengamankan kepentingan nasional, dan kedaulatan nasional.

3) Kedaulata Rakyat dalam Wilâyat al-Faqîh
Semua rakyat yang hidup dalam naungan wilâyat al-faqîh masuk pada poin ini. Salah satu peran rakyat adalah melalui pemilihan langsung. Rakyat mempunyai hak untuk memilih wakil parlemen dan presiden secara langsung, yang akan menjadi bagian dari otoritas Negara. [18]

Demikian Dewan-Dewan yang ada pada pemerintahan wilâyat al-faqîh yang pada tataran praktis tidak pernah ada pada pemerintahan rezim Pahlevi, dimana kondisi pemerintahannya lebih mencerminkan bentuk pemerintahan despotic dan otoritarian, seperti yang telah sedikit disinggung pada awal tulisan.

EPILOG

Pada tataran prinsip, gagasan Al-Naraqi berupa konsep wilâyat al-faqîh yang kemudian disusun secara sistematis dan di-ejawentah-kan secara aplikatif oleh Ayatullah Ruhallah Khameini di Republik Islam Iran merupakan gagasan tata Negara yang tidak jauh beda dengan konsep negarawan Baron De Montesqueiu. Khameini dengan wilâyat al-faqîh-nya sedangkan Baron De Montesqueiu dengan konsep trias politikanya. Kesamaan keduanya adalah sama-sama mempunyai tiga lembaga Negara yang paling prinsip; Legislative, Eksekutif dan Yudikatif. Penulis merasa Khameini yang lahir pada 24 September 1902 M. dalam konsep wilâyat al-faqîh-nya terinspirasi dan terkontaminasi gagasan Baron De Montesqueiu yang lahir pada 19 Januari 1689 M. dengan konsep trias politikanya.

Unsure kontaminatif dan inspiratif tersebut bukanlah hal yang aneh, seperti halnya Baron De Montesqueiu–Penulis Rasa— juga terinspirasi dan terkontaminasi oleh Jhon Locke, yang membagi lembaga pemerintahan menjadi tiga; Legistalif, Eksekutif dan Federatif. Dan dari sini tentunya suatu saat akan muncur negarawan baru yang akan menawarkan inovasi tata Negara baru, seiring begitu kompleknya problemtika yang dihadapi manusia.

Bagaimanapun juga konsep wilâyat al-faqîh merupakan konstributor khazanah keislaman yang patut diapresiasi, dengan harapan akan muncul konseptor tata Negara baru yang lebih efektif menciptakan tatanan dunia yang lebih kondusif dan bermartabat. Wallahu a’lam.

Referensi:

[1] Prof. DR. Rasyad Hasan Khalil dan Prof & DR. Abdul Fattah Abdullah al-Barsyumi, Al-Samy Fi Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy, Diktat Fakultas Islamic Law Al-Azhar University Cairo, Tk. I, Cet: 2005, Hal: 6.
[2] John Locke, Kuasa Itu Milik Rakyat Esai Mengenal Asal Mula Sesungguhnya, Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil, terj: A.Widyamartaya (Yogyakarta : Kanisius, 2002) hlm 82-83.
[3]Arifuddin, Konsep Kedaulatan Menurut Ayatullah Khomeini dan Baron De Montesquieu, Skripsi perbandingan madzhab dan hukum, fakultas syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2008, Hal. 1-2.
[4] Ibit. Hal. 5-6.
[5] Al-Imâm al-Mujâhid al-Sayyid Rûh Allâh Al-Khameini, Al-Hukûmat al-Islâmiyyah, hal. 10.
[6] Ibit. hal. 13-15.
[7] Ibit. hal. 10.
[8] Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Al-Iqtishâd fi Al-I’tiqâd, Beirut, Darul Kitab Al-‘Ilmiyah, 1998, hal 147.
[9] Usamah Fatha, Al-Syiah wa al-Sunnah, wa Man Yuthfi’u al-Naar? Qabla An Nar’a al-Khanazir Fi Amrika, cet. I, 2007. Hal. 171.
[10] Al-Imâm al-Mujâhid al-Sayyid Rûh Allâh Al-Khameini, Al-Hukûmat al-Islâmiyyah, hal. 41.
[11] Keghaiban besar atau ghaibah al-kubrâ adalah pasca meninggalnya Abi Al-Hasan Ali ibn Muhammad Al-Samari, tahun 329 H/941 M. Lihat: Mustafa Labbad, Hadâ`iqu'l-Ahzân; Irân wa Wilâyatu'l-Faqîh, cet. Cairo, Dar al-Syuruq, hal. 15.
[12] Arifuddin, Konsep Kedaulatan Menurut Ayatullah Khomeini dan Baron De Montesquieu, Skripsi perbandingan madzhab dan hukum, fakultas syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2008, Hal. 49-50.
[13] Al-Imâm al-Mujâhid al-Sayyid Rûh Allâh Al-Khameini, Al-Hukûmat al-Islâmiyyah, hal. 42.
[14] Lihat catatan kaki: Al-Imâm al-Mujâhid al-Sayyid Rûh Allâh Al-Khameini, Al-Hukûmat al-Islâmiyyah, hal. 42.
[15] Al-Imâm al-Mujâhid al-Sayyid Rûh Allâh Al-Khameini, Al-Hukûmat al-Islâmiyyah, hal. 45-47.
[16] Arifuddin, Konsep Kedaulatan Menurut Ayatullah Khomeini dan Baron De Montesquieu, Skripsi perbandingan madzhab dan hukum, fakultas syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2008, Hal. 55-56.
[17] Ibid. hal. 57.
[18] Baca selengkapnya pada: hal. 58-63.

[3] Apakah Alquran Kolaborasi dari Agama-agama Sebelumnya?

Apakah Alquran kalaborasi dari agama-agama sebelumnya, sebagaimana tuduhan orang-orang yang tidak bertangjawab?

1. Jika Alquran secara nyata kalaborasi dari beberapa kitab agama sebelumnya, apakah mereka yang sama dan yang berbeda akan Muhammad dari berbagai aspek akan mereka diamkan? Mereka benar-benar telah memburunya dengan berbagai tuduhan, bagaimana mungkin semua itu hilang dan mereka tidak mengungkapnya? Sesungguhnya tuduhan yang mampu dilakukan oleh para penentang Alquran tidak lebih dari menggeneralisir permasalahan yang tidak ada dasar ilmiahnya. Alquran telah memberi isyarat untuk tuduhan-tuduhan batil ini –seperti keterangan terdahulu yang kami tampilkan untuk mematahkan pandangan-pandangan syubhat (tidak jelas).

2. Alquran telah mencakup berbagai perundang-undangan dan doktrin yang tidak diketemukan dalam kitab suci agama-agama terdahulu, lebih-lebih spesifik persoalan umat terdahulu dan persoalan ghaibiyyât (supernatural) yang nyata-nyata telah terbukti persis seperti dikabarkan Alquran. Misalnya nasib konflik antara Romawi dan Persi. Ini semua adalah persoalan yang tidak diketahui oleh Muhammad, kaumnya, dan juga para pemeluk agama terdahulu.

3. Alquran mendorong ilmu pengetahuan, menghargai akal dan pemberdayaannya. Atas doktrin baru ini, orang-orang Muslim dalam masa singkat –mengacu pada pembangunan peradaban—mampu menggantikan peradaban sebelumnya hingga berlanjut beberapa abad kedepan. Jika Alquran sebagai bentuk plagiarisme dari agama-agama terdahulu, mengapa doktrin agama-agama terdahulu tidak meliputi unsur ini dan dengan sendirinya berperan sebagaimana Islam?

4. Alquran semuanya bersifat simetri dalam susunan, gaya maupun doktrinnya. Jika Alquran diciptakan dari kalaborasi kitab-kitab sebelumnya maka akan terjadi kontradiksi, terpisah-pisah dan tidak selaras mengacu pada sumber yang berbeda-beda. Terlebih secara konsisten Alquran menekankan logika, bersih dari dongeng maupun takhayul, menekankan bukti dan argumentasi dan menuntuk memberikan bantahan seraya berkata, “Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” [QS. 2:111], [QS. 21:24], [QS. 27:64], [QS. 28:75]. Metode ini adalah metode baru yang tidak diketemukan sebelumnya dan tidak mungkin dari hasil adopsi kitab-kitab sebelumnya.

5. Dalam persoalan budaya Jahiliyyah –di mana Alquran dikatakan mempunyai ketergantungan dengannya—sesungguhnya Islam telah menolak konsep teologi sesat, budaya buruk dan tradisi usang mereka, menggantikan dengan konsep teologi yang benar, budaya baik dan tradisi yang dapat diterima. Budaya apa yang diambil oleh Islam dari orang-orang Jahiliyyah?

Note: Serial buku Haqâiqu Islâmiyyatin Fî Muwâjahati Hamalâti al-Tasykîki

[2] Alquran Wahyu Tuhan atau Ciptaan Manusia?

Benarkah Alquran wahyu Tuhan, atau sebenarnya hanya ciptaan manusia? Berikut ini jawaban-jawabannya:

1. Alquran adalah buku pedoman utama yang berperan sebagai dasar akidah dan syariat. Dari Alquran pula akan membentuk tatanan etika dan prilaku umat Islam. Jika Alquran benar-benar wahyu Allah yang tidak mendatangkan kebatilan di masa depan maupun masa lalunya, maka mempercayainya menjadi sesuatu yang tak terelakkan.

Oleh karena itu pihak yang anti terhadap islam, dulu hingga sekarang, selalu berusaha menggoyahkan kepercayaan akan kebenaran Alquran dan juga sumbernya. Kaum pagan Mekah juga menolak fakta serupa bahwa Alquran adalah wahyu dari Allah swt. Mereka berprasangka bahwa: “Al Quran ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain” [QS. 25:4], dan mereka berkata: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.” [QS. 25:5], “Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Atau mengatakan bawah Alquran adalah perkatakan seorang penyihir dan paranormal. Target dibalik semua itu adalah untuk mematahkan perkataan bahwa Alquran merupakan wahyu untuk Nabi Muhammad sebagai petunjuk semua umat manusia.

Sejumlah orientalis juga berprasangka buruk terhadap Islam terkait Alquran sebagaimana orang-orang musyrik Makkah terdahulu. Mereka berupaya membuat putus asa untuk menunjukkan bahwa Alquran bukan wahyu dari Allah, tapi ciptaan Nabi Muhammad saw. Meskipun terkadang mereka juga mematahkan perkataan kaum pagan klasik dengan menggunakan sanggahan Alquran.

Fakta sejarah menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang umi; tidak dapat membaca dan menulis. Untuk itu, beliau menentukan sejumlah sahabat guna menuliskan ayat Alquran ketika turun. Jika mampu membaca dan menulis mengapa harus meminta seseorang untuk menulis ayat-ayat Alquran? Bagaimana mungkin seorang umi mampu menelaah kitab-kitab agama lain? Bagaimana dan kapan itu terjadi? Sesungguhnya ini hanya klaim semata yang tidak ada fakta dan referensinya.

2. Nabi berdakwah di kota Makkah kurang lebih 13 tahun. Tidak ada dalam catatan sejarah mengatakan bahwa beliau menjalin hubungan dengan orang-orang Yahudi secara mutlak. Pertemuannya dengan orang-orang Nasrani terlalu dibesar-besarkan; yaitu kisah pertemuannya dengan seorang rahib Nasrani bernama Buhaira, dalam perjalanannya (bersama beberapa kafilah) menuju Syam (sekarang Suriah) menemani pamannya, Abu Thalib. Saat itu Muhammad berusia 9 atau 12 tahun. Bagaimana mungkin anak kecil mampu memahami agama secara sempurna di sebuah pertemuan yang berjalan hanya beberapa saat? Apa yang mendorong Buhaira untuk memilih anak kecil, secara fisik, di antara sekian banyak kafilah untuk diajari agama Kristen? Dan mengapan Muhammad manunggu 30 tahun, paska pertemuan, untuk memproklamirkan dakwahnya?

Sesungguhnya cerita ini tidak masuk akal dan tidak dapat diterima. Hal ini disepakati oleh seorang orientalis yang menganggap cerita ini sebagai cerita gadungan dipandang dari dasar-dasarnya. Seorang orientalis bernama Huart berkata, "Berbagai sumber-sumber tertulis Arab klasik yang ditemukan, diterbitkan dan dikaji yang menyebutkan tentang peran seorang pendeta asal Suriah (Syam), menunjukkan bahwa kisah tersebut tidak lebih dari potongan-potongan dongeng dan khayalan belaka”.

3. Alquran sesuai dengan agama-agama samawi sebelumnya dalam persoalan keimanan Tuhan Esa dan Pencipta semesta alam. Dapat ditarik kesimpulan bahwa sumber semua agama ini sama, yaitu Allah swt. Oleh kerenanya antara satu dan yang lain tidak bertentangan dipandang dari dasar keimaannya. Akan tetapi Alquan banyak menentang konsep teologi yang ada pada agama Yahudi dan Nasrani. Jika demikian, bagaimana mungkin Muhammad menggunakan sumber-sumber Nasrani dan Yahudi? Bukankah–jika benar demikian—seharusnya di sana tidak ada perbedaan? Atau setidaknya perbedaan itu terjadi dalam hal-hal partikular, tidak berkaitan dengan prinsip teologi yang paling mendasar?

4. Alquran mengandung banyak fakta ilmiah yang tidak diketahui kecuali pada era modern, semisal isyarat Alquran tentang perkembangan janin dalam perut ibunya dan fakta-fakta lainnya seputar bumi, matahari, bintang, angin, hujan dan seterusnya. Dari mana Muhammad mendapat semua itu? Tidak ada seorang pun mengatakan ia mengambil sumber-sumber Nasrani dan Yahudi, karena di sana tidak menyinggung apapun tentang itu. Logiskah semua itu datang dari diri Muhammad pribadi, sedangkan ia seorang umi (tidak mampu membaca dan menulis) yang tak pernah mengenyam pendidikan?

Sesungguhnya masing-masing bukti itu menunjukkan bahwa Alquran adalah wahyu sedangkan sumbernya tidak mungkin dari manusia.

Note: Serial buku Haqâiqu Islâmiyyatin Fî Muwâjahati Hamalâti al-Tasykîki

[1] Prolog Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq

Kisah pertentangan antara benar dan salah, baik dan buruk merupakan persoalan klasik yang telah terjadi sejak pertama kali manusia menghuni planet bumi.  Kenyataan itu akan selalu berkesinambungan selama manusia masih eksis di dunia ini.

Di awal munculnya, Islam terlibat dalam perlawanan menghadapi kebatilan, yang dengan segenap upaya mengaburkan kebenaran agama Islam.

Diantara perbedaan tidak wajar bahwa Islam –yang dijadikan sebagai agama paripurna dan akhir dari sebuah rangkaian interaksi antara langit dan bumi— pada periode awal kedatangannya bersinggungan dengan berbagai serangan, hasutan, dan upaya mendiskreditkan doktrin dan ajarannya hingga sekarang.

Bentuk ketidakwajaran lain tergambarkan bahwa Islam –dalam kedatangannya menegaskan sebagai agama paripurna bagi segenap manusia di bumi ini— tidak mengingkari nabi-nabi sebelumnya, kitab-kitab suci yang diturunkan kepada mereka, dan juga tidak melakukan paksaan kepada siapapun penganut agama samawi untuk memeluk agama Islam. Bukan hanya sebatas ketidakingkaran, Islam juga menjadikan iman kepada semua nabi-nabi Allah dan kitab-kitab suci yang diturunkan kepada mereka sebagai unsur paling mendasar, yaitu akidah, di mana tidaklah diterima keimanan tanpanya. Dari fakta toleransi ini mengenai agama-agama sebelumnya seudah sepantasnya Islam menerima sikap toleran serupa, agar meminimalisir jumlah Islam fobia.

Akan tetapi yang terjadi justeru sebaliknya. Kita mendapati Islam, sepanjang perjalanannya, bergesekan dengan berbagai upaya perusakan dari berbagai aspek. Saat ini tidak ada agama dari beberapa agama yang mengalami pergesekan sebagaimana dialami Islam dalam media internasional, semisal seriusnya kezaliman dan tuduhan-tuduhan palsu.

Ini menunjukkan kepada kita adanya ketidaktahuan di sana dan buruknya pemahaman doktrin agama Islam, entah itu disengaja maupun tidak. Di sana mencampuradukkan antara Islam sebagai agama dengan prilaku bodoh sebagian muslim atas nama agama, padahal Islam lepas dari prilaku ini. Untuk menggambarkan itu mereka mengerahkan segala usaha bertujuan menjelaskan potret Islam sesungguhnya kemudian menyebarkan seluas-luasnya.

Fakta itu menjelaskan kepada kita bahwa bentuk kecurigaan yang diciptakan oleh kontra Islam ini dari awal munculnya hingga sekarang adalah kecurigaan yang berulang-ulang, tidak ada perbedaan antara satu dan yang lainnya, kecuali hanya bentuk dan cara menghadirkannya dengan corak ilmiah saja. Banyak intelektual Muslim –di berbagai masa—mencoba menjelaskan kecurigaan-kecurigaan ini dengan berbagai pendekatan dan metode yang diyakini paling tepat untuk menjelaskannya.

Kami tidak mengurangi para pendahulu dalam persoalan ini, dan kami juga tidak mengklaim akan memberikan penjelasan yang belum dijelaskan mereka terkait isu ini. Akan tetapi kami berharap buku ini menjelaskan secara fokus atas kecurigaan-kecurigaan yang mengganggu , dan berulang-ulang sekarang ini, terlebih di masa menjangkitnya ilmu pengetahuan, komunikasi dan seiring merebaknya komunikasi internasional melalui internet.

Beberapa tahun terakhir buku ini telah dicetak berulang-ulang oleh Majlis A’la li Syu`un al-Islamiyyah. Agar lebih bermanfaat, buku ini juga telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, semisal Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Kazakh, Thailand,  seperti telah disebarkan melalui situs resmi Manjlis A’la li Syu`un al-Islamiyyah.

Kami berharap, buku berukuran kecil ini dapat ikut ambil bagian menjelaskan potret Islam sebenarnya dan menghilangkan keraguan dari buruknya memahami doktrin Islam.

Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq.


Note: Serial buku Haqâiqu Islâmiyyatin Fî Muwâjahati Hamalâti al-Tasykîki

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

e-Book ini sangat penting bagi warga negara Indonesia yang aktif dalam dunia akademik dan tulis-menulis. e-Book ini dikeluarkan tahun 2009, revisi dari e-Book sebelumnya yang dikeluarkan tahun 2000.

Para blogger wajib mempunyai e-Book ini agar dapat menyajikan tulisan/postingan lebih berkualitas, sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditentukan para pakar bahasa. Bagi yang gemar menulis, e-Book ini sangat direkomendasikan, disamping Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pasalnya, dengan menggunakan keduanya, kualitas tulisan yang disuguhkan akan tampak lebih baik dan benar.

Buku pedoman ini dikeluarkan langsung oleh Kemdiknas; Kementrian Pendidikan Nasional. Setelah membaca e-Book ini, tentunya akan mengetahui bagaimana cara  menulis bahasa Indonesia yang baik dan benar. Silahkan download link di bawah ini.

Download