Telaah Sistem Pemerintahan Wilayat Al-Faqih

Manusia adalah makluk sosial yang mempunyai interaksi antar komunitas satu dengan komunitas lain yang begitu beragam. Keberagaman ini dilator belakangi dari cara pandang, kondisi budaya dan berbagai persoalan yang dihadapi masing-masing komunitas itu sendiri. Masing-masing berusaha untuk menciptakan kehidupan yang terbaik dengan mengamati setiap persoalan yang tengah dihadapi sehingga pada akhirnya dapat menciptakan problem solving atas realita yang selama itu menjadi ganjalan.

Telah menjadi hokum alam, manusia selalu mempunyai keinginan melakukan eksperimen dan menawarkan sebuah gagasan demi terciptanya sebuah kelayakan hidup sebagai konstribusi positif bagi dirinya sendiri maupun komunitasnya. Pada dasarnya progresivitas hukum manusia berjalan dan berkembang dipicu dari berbagai problematika kehidupan yang dirasakan manusia itu sendiri. Andaipun tidak demikian (andai tidak dipicu dari sebuah problem) semua itu berjalan hanya sebagai resume (baca; penindaklanjutan) dari problem yang telah ada sebelumnya. [1]

Sebagai makhluk sosial, manusia juga selalu berusaha mempertahankan diri secara kelompok, dari ancaman manusia lain maupun dari ancaman alam. Oleh karenanya dengan cara ini manusia mempunyai kesepakatan setiap individu dalam sebuah kelompok agar tetap selalu dapat survive, seperti yang dikatakan seorang filsuf inggris, John Locke. [2]

Badan atau lembaga berdasarkan kesepakatan di atas dapat disebut sebagai pemerintah. Kemudian tujuan dasar adanya lembaga atau pemerintahan ialah demi terciptanya kehidupan manusia yang adil, makmur dan sejatera di-semua sendi kehidupan masyarakat tanpa adanya kesenjangan status sosial.

URGENSITAS SISTEM PEMERINTAHAN

Dipandang dari sosio-historis system pemerintahan masa lalu lebih banyak menggunakan system monarki dan mempunyai kecenderungan otoritarian. Dalam system monarki pemerintah (baca; raja) berpotensi menciptakan suatu keputusan berdasarkan kemauannya sendiri tanpa mempertimbangkan hukum-hukum yang ada. Hal ini disebabkan raja merupakan satu-satunya otoritas sah, di sebuah pemerintahan, tanpa adanya keseimbangan kekuatan lain yang mampu melakukan monitoring dan controlling terhadap kebijakan-kebijakan yang diambilnya.

Korban atas segala kebijakan inkonstitusional ini tidak lain adalah rakyat, sehingga pada akhirnya menimbulkan pergolakan dan berbagai macam pemberontakan, seperti yang terjadi di perancis dengan revolusinya pada tahun 1687 dan Iran pada tahun 1979.[3] Hal ini terjadi akibat dari begitu komplek-nya ketidakadilan dan tindak kesewenang-wenangan sebuah rezim atas rakyatnya di suatu pemerintahan.
Meskipun demikian telah menjadi sebuah keniscayaan suatu komunitas dengan segala bentuk aktifitasnya membutuhkan sebuah aturan (baca; system) dan konsep berkehidupan yang realistis dan progresif. Kedaulatan dalam kehidupan bernegara mempunyai peran yang sangat penting, karena kedaulatan merupakan symbol kekuasaan dalam sebuah Negara. Kemudian jati diri sebuah bangsa juga dapat dilihat dari ideology dan system pemerintahan yang dipilih oleh bangsa tersebut dan system juga merupakan rel yang akan membawa bangsa tersebut ke suatu titik yang dicita-citakan.

REVOLUSI IRAN

Iran yang sebelumnya bernama Persia mengalami beberapa perubahan ideology poltik dari system pemerintahannya. Salah satu perubahan besar dalam sejarah politik Iran adalah runtuhnya pemerintahan Rezim Pahlevi. Pemerintahan rezim Pahlevi mempunyai kecenderungan despotic dan diskriminatif terhadap rakyatnya. Pemerintah tidak segan-segan melakukan kekejaman dan pembunuhan terhadap kubu oposisi yang mencoba melakukan gerakan yang dianggap dapat merongrong otoritas Negara melalui dinas rahasia SAVAK yang pembentukannya melibatkan Inggris dan Israel. Kondisi rakyat Iran yang sedemikian memperihatinkan membuat sosok Ayatullah Khameini berupaya melakukan gerakan perlawanan terhadap rezim Pahlevi. Puncak gerakan revolusioner yang dipimpin Ayatullah Khameini itu terjadi pada 11 Februari 1979 dan menghancurkan tesis sebagian orang bahwa Negara dan agama harus dipisahkan agar kesejahteraan dapat terealisir. [4]

Semangat revolusi yang diusung Khameini pada dasarnya berangkat dari realita imperialism, monarki dan penindasan yang terjadi diberbagai belahan dunia, lebih-lebih melihat kondisi Iran pada masa itu.[5] Kemudian pada akhirnya revolusi berdarah itu dapat mengubah sistem pemerintahan Iran yang sebelumnya berbentuk monarki menjadi Republik Islam Iran dan wilâyat al-faqîh sebagai ideology pemerintahannya.

Pertarungan ideologis tampak begitu jelas. Sebagai pimpinan tertinggi, Khameini berusaha melakukan counter atas berbagai opini destruktif yang dibangun kaum Imperialis tentang relevansi beberapa hukum Islam, seperti sanksi cambuk bagi menenggak minuman keras dan ekskusi mati (baca; rajam) bagi pelaku zina. Sebagai jawaban tuduhan-tuduhan itu, ia memberikan komparasi produk hokum Barat dan hokum Islam secara realistis dan interpretative, agar diketahui mana yang lebih layak untuk diadopsi antara kedua produk hokum tersebut. Hal ini terekam secara jelas dalam karyanya Al-Hukûmah al-Islâmiyyah.[6]

Ia mengingatkan bahwa pada saat Imperium Romawi dan Persia mencapai puncak peradabannya dengan menggunakan cara keji, diktatorian, dikriminasi rasial terhadap masyarakat bawah, justru Allah –melalui nabi—mematahkan semuanya, dengan adanya rekontruksi mekanisme hokum yang ada menjadi hokum Islam, sehingga semua elemen masyarakat dapat terlindungi. [7]

KONSEP WILAYAT AL FAQIH

Permasalahan kekuasaan (Imâmah) menurut Ahli Sunah adalah termasuk fikih [8] sedangkan semua sekte dalam syiah menuai kata sepakat bahwa kekuasaan (wilâyat) merupakan bagian dari ranah teologi. Yang dikehendaki kekuasaan –perspektif Syi’ah—adalah terbentuknya kepemimpinan dan pemerintahan sipil, sebagaimana fakta sejarah yang telah diteladankan rasulullah, sebagai inspirator pemerintahan pereode setelahnya. Abad 7 H. setelah hilangnya Imam dua belas, komunitas Syi’ah mengalami dilema dalam penantian sosok Imam Mahdi. Mereka memerlukan sebuah problem solving yang mampu mengentaskan mereka dari kondisi degradasi politik dan social, yang terjadi pada saat itu, sehingga timbullah ide perlu adanya perombakan system pemerintahan secara universal. Menurut mereka, semua persoalan akan teratasi jika diserahkan pada seseorang yang mempunyai kredibilitas dibidang hokum Islam (baca; faqih). Dari Al-Syikh Ahmad Bin Muhammad Mahdi Al-Naraqi muncullah konsep wilâyat al-faqîh, yaitu; keniscayaan pemerintahan dari seorang faqîh, kemudian 10 tahun setelah terjadinya revolusi Iran, Khameini menerapkan gagasan wilâyat al-faqîh secara absolute di pemerintahan Islam Iran. [9]

Khameini mengatakan bahwa pemerintahan Islam bukanlah pemerintahan monarki sebagaimana dipahami kebanyakan orang. Dalam sistem monarki segala bentuk persoalan sekaligus keputusan diserahkan sepenuhnya kepada kepala pemerintahan, sebagai satu-satunya otoritas Negara yang sah, tanpa memperhatikan kondisi arus bawah (rakyat). Sedangkan dalam pemerintahan Islam tidak demikian, karena segala bentuk persoalan dan keputusan akan selalu berorientasi pada kondisi rakyatnya. Orang-orang yang terpilih untuk menduduki sebuah institusi pemerintahan dalam Negara Islam (al-qâimîn bi al-amr) juga tidak sama dengan orang-orang yang menududuki lembaga parlemen atau semisal Dewan Perwakilan Rakyat (al-majâlis al-syu’biyyah). Menurutnya, perbedaannya keduanya adalah adanya beberapa syarat dan criteria yang harus dipenuhi oleh seorang wakil rakyat, pada pemerintahan Islam, sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah,[10] sehingga layak tidaknya kapasitas seseorang akan selalu dibenturkan dengan literature agama (al-Qur’an maupun al-Sunnah).

Dalam wilâyat al-faqîh ada empat prinsip yang harus ditegakkan. Pertama: Allah swt. yaitu pemerintah mutlak semua manusia dan alam semesta tanpa terkecuali. Kedua: Nabi sebagai pengganti Tuhan dan pelaksana kepemimpinan manusia (qiyâdah basyariyyah) untuk menegakkan semua konsep hokum yang telah direkomendsikan kepadanya. Ketiga: garis kepemimpinan (imâmah) menunjukkan garis kelanjutan dari pada Nabi dalam memimpin umat. Menurut paham Syi’ah Itsnâ’ Asy’ariyyah adanya imam yang ma’shum atau terjaga dari kesalahan dan perbuatan dosa serta kredibilitas agamanya tidak diragukan lagi (faqîh) mempunyai tugas melanjutkan kepemimpinan Ilâhiyyah. Keempat: Saat terjadi keghaiban besar [11] kepemimpinan nubuwah dilanjutkan oleh para faqîh. Artinya, para faqîh mempunyai tanggungjawab kepemimpinan (wilâyah) atas umat manusia. [12]

Dari sini telah jelas bahwa penguasa tertinggi dalam wilâyat al-faqîh adalah Allah swt. sebagaimana yang dijelaskan di atas, pada poin pertama. Meskipun demikian dalam pemerintahan wilâyat al-faqîh –menurut Khameini—juga mempunyai majlis perencanaan yang berfungsi sebagai majlîs al-tasyrî’iyyah atau biasa disebut legislative. [13]

Selain majlîs al-tasyrî’iyyah atau legislative dibentuk pula majlîs al-qadlâiyyah yang berfungsi sebagai yudikatif dan majlis al-tanfîdziyyah yang berfungsi sebagai eksekutif. [14] Jadi system pemerintahan wilâyat al-faqîh mempunyai tiga lembaga Negara seperti halnya lembaga Negara lain yang menganut system pemerintahan trias politika, yaitu legislative, yudikatif dan ekskutif. Demikian generalogi tentang konsep wilâyat al-faqîh yang digagas secara metodik oleh Ayatullah Ruhallah Khameini dan Republik Islam Iran sebagai representasinya.

Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan dijelaskan masing-masing lembaga yang terdiri dari Pimpinan Tertinggai, Parlemen, Ekskutif, Yudikatif dan Dewan-Dewan tertinggi dalam Pemerintahan Wilâyat al-faqîh:

a. Pimpinan Tertinggi.
Sebagai Pimpinan Tertinggi, Imam merupakan institusi yang sangat signifikan. Ia harus dari kader terbaik diantaranya sekaligus faqih, artinya; mempunyai kapabilitas pengetahuan perundang-undangan Islam (baca; fikih) serta kredibiltas dalam mengaplikasikan sebuah hokum tidak dapat diragukan lagi (baca; adil). Disamping kapabel dan kredibel, seorang Imam juga harus mempunyai akidah lurus, berkepribadian baik dan terjaga dari melakukan dosa. [15]

b. Legislatif
Lembaga ini (Parlemen) dibangun dari nilai filosofis al-Qur’an: “Wa Amruhum Syûra bainahum…” yang artinya: “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka…”. Orang-orang yang duduk di lembaga ini sebagai wakil rakyat yang memberikan gagasan aspiratif dan berasal dari latarbelakang agama yang berbeda, termasuk agama minoritas.
Meskipun sebagai Negara Tuhan (Daulah Ilâhiyyah) system wilâyat al-faqîh juga memberikan ruang mengutarakan pendapat bagi setiap perwakilan.

c. Eksekutif
Eksekutif institusi yang mempunyai tanggungjawab terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dipimpin oleh seorang Presiden. Disamping itu Presiden juga sebagai pemegang kekuasaan tertinggi setelah Imam atau Wilâyat al-faqîh. Meskipun kedudukan presiden mempunyai kekuasaan tertinggi namun kebijakan yang diambil dapat juga ditolak oleh Pimpinan Tertinggi Iran, yaitu Faqih atau Wilâyat al-faqîh. [16] Proses pemilihan Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat. Sehingga dalam proses ini rakyat mempunyai peran secara langsung melalui pemilu yang diselenggarakan pemerintah.

d. Yudikatif
Yudikatif dalam system pemerintahan wilâyat al-faqîh mempunyai peran signifikan. Badan ini mempunyai tanggungjawab terhadap hak-hak rakyat baik individu maupun social. Peran mengadili dan memberikan sebuah keputusan sesuai konstitusi menjadi wewenang lembaga ini. Dalam system wilâyat al-faqîh, yudikatif berdiri secara independen sehingga wewenang hukumnya tidak dapat diintervensi pihak legislative maupun eksekutif. [17]

e. Dewan dalam Wilâyat al-Faqîh
Selain tiga lembaga di atas, dalam konsep wilâyat al-faqîh mempunyai Dewan-Dewan yang bertugas mewujudkan cita-cita revolusi Islam Iran.

Dewan tersebut terdiri dari:

1) Dewan Tinggi Propensi.
Dewan ini mempunyai fungsi melakukan monitoring kepada dewan-dewan yang ada di desa, distrik, kota, kota besar dan propinsi yang berperan menangani persoalan social, ekonomi, pengembangan, kesehatan, kebudayaan, pendidikan serta program-program kesejahteraan.
Anggota dewan yang berada di desa, distrik, kota, kota besar dan propinsi dipilih rakyat secara langsung dan anggota dewan harus dari daerah pemilihan.

2) Dewan Tertinggi Keamanan Negara.
Dewan Tertinggi Keamanan berfungsi pemeliharaan Revolusi Islam, keutuhan wilayah, mengamankan kepentingan nasional, dan kedaulatan nasional.

3) Kedaulata Rakyat dalam Wilâyat al-Faqîh
Semua rakyat yang hidup dalam naungan wilâyat al-faqîh masuk pada poin ini. Salah satu peran rakyat adalah melalui pemilihan langsung. Rakyat mempunyai hak untuk memilih wakil parlemen dan presiden secara langsung, yang akan menjadi bagian dari otoritas Negara. [18]

Demikian Dewan-Dewan yang ada pada pemerintahan wilâyat al-faqîh yang pada tataran praktis tidak pernah ada pada pemerintahan rezim Pahlevi, dimana kondisi pemerintahannya lebih mencerminkan bentuk pemerintahan despotic dan otoritarian, seperti yang telah sedikit disinggung pada awal tulisan.

EPILOG

Pada tataran prinsip, gagasan Al-Naraqi berupa konsep wilâyat al-faqîh yang kemudian disusun secara sistematis dan di-ejawentah-kan secara aplikatif oleh Ayatullah Ruhallah Khameini di Republik Islam Iran merupakan gagasan tata Negara yang tidak jauh beda dengan konsep negarawan Baron De Montesqueiu. Khameini dengan wilâyat al-faqîh-nya sedangkan Baron De Montesqueiu dengan konsep trias politikanya. Kesamaan keduanya adalah sama-sama mempunyai tiga lembaga Negara yang paling prinsip; Legislative, Eksekutif dan Yudikatif. Penulis merasa Khameini yang lahir pada 24 September 1902 M. dalam konsep wilâyat al-faqîh-nya terinspirasi dan terkontaminasi gagasan Baron De Montesqueiu yang lahir pada 19 Januari 1689 M. dengan konsep trias politikanya.

Unsure kontaminatif dan inspiratif tersebut bukanlah hal yang aneh, seperti halnya Baron De Montesqueiu–Penulis Rasa— juga terinspirasi dan terkontaminasi oleh Jhon Locke, yang membagi lembaga pemerintahan menjadi tiga; Legistalif, Eksekutif dan Federatif. Dan dari sini tentunya suatu saat akan muncur negarawan baru yang akan menawarkan inovasi tata Negara baru, seiring begitu kompleknya problemtika yang dihadapi manusia.

Bagaimanapun juga konsep wilâyat al-faqîh merupakan konstributor khazanah keislaman yang patut diapresiasi, dengan harapan akan muncul konseptor tata Negara baru yang lebih efektif menciptakan tatanan dunia yang lebih kondusif dan bermartabat. Wallahu a’lam.

Referensi:

[1] Prof. DR. Rasyad Hasan Khalil dan Prof & DR. Abdul Fattah Abdullah al-Barsyumi, Al-Samy Fi Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy, Diktat Fakultas Islamic Law Al-Azhar University Cairo, Tk. I, Cet: 2005, Hal: 6.
[2] John Locke, Kuasa Itu Milik Rakyat Esai Mengenal Asal Mula Sesungguhnya, Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil, terj: A.Widyamartaya (Yogyakarta : Kanisius, 2002) hlm 82-83.
[3]Arifuddin, Konsep Kedaulatan Menurut Ayatullah Khomeini dan Baron De Montesquieu, Skripsi perbandingan madzhab dan hukum, fakultas syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2008, Hal. 1-2.
[4] Ibit. Hal. 5-6.
[5] Al-Imâm al-Mujâhid al-Sayyid Rûh Allâh Al-Khameini, Al-Hukûmat al-Islâmiyyah, hal. 10.
[6] Ibit. hal. 13-15.
[7] Ibit. hal. 10.
[8] Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Al-Iqtishâd fi Al-I’tiqâd, Beirut, Darul Kitab Al-‘Ilmiyah, 1998, hal 147.
[9] Usamah Fatha, Al-Syiah wa al-Sunnah, wa Man Yuthfi’u al-Naar? Qabla An Nar’a al-Khanazir Fi Amrika, cet. I, 2007. Hal. 171.
[10] Al-Imâm al-Mujâhid al-Sayyid Rûh Allâh Al-Khameini, Al-Hukûmat al-Islâmiyyah, hal. 41.
[11] Keghaiban besar atau ghaibah al-kubrâ adalah pasca meninggalnya Abi Al-Hasan Ali ibn Muhammad Al-Samari, tahun 329 H/941 M. Lihat: Mustafa Labbad, Hadâ`iqu'l-Ahzân; Irân wa Wilâyatu'l-Faqîh, cet. Cairo, Dar al-Syuruq, hal. 15.
[12] Arifuddin, Konsep Kedaulatan Menurut Ayatullah Khomeini dan Baron De Montesquieu, Skripsi perbandingan madzhab dan hukum, fakultas syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2008, Hal. 49-50.
[13] Al-Imâm al-Mujâhid al-Sayyid Rûh Allâh Al-Khameini, Al-Hukûmat al-Islâmiyyah, hal. 42.
[14] Lihat catatan kaki: Al-Imâm al-Mujâhid al-Sayyid Rûh Allâh Al-Khameini, Al-Hukûmat al-Islâmiyyah, hal. 42.
[15] Al-Imâm al-Mujâhid al-Sayyid Rûh Allâh Al-Khameini, Al-Hukûmat al-Islâmiyyah, hal. 45-47.
[16] Arifuddin, Konsep Kedaulatan Menurut Ayatullah Khomeini dan Baron De Montesquieu, Skripsi perbandingan madzhab dan hukum, fakultas syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2008, Hal. 55-56.
[17] Ibid. hal. 57.
[18] Baca selengkapnya pada: hal. 58-63.

No comments:

Post a Comment